cerpen : 6 jam
6 jam
“Aku menyukai
hujan, karna dibalik hujan aku dapat menangis tanpa diketahui orang.
Aku menyukai
hujan, karna saat hujan keluarga kecilku ada dibalik selimut tua bermotif mawar
yang warnanya perlahan memudar.
Aku menyukai
hujan, karna saat hujan kehangatan keluargaku akan kurasakan.
Setiap sore aku menunggu hujan dan aku akan menangis menjelang malam,
dan sampai kapanpun aku akan tetap terdiam
dibalik jendela menunggu hujan turun.”
Sore
itu semuanya berbeda, wajah ibu berkecamuk sedari siang, setelah telephon
genggam yang ia pegang jatuh dari tangan, entahlah aku tak tau siapa yang
bicara diujung sana. Yang ku lihat hanya itu saja. Dan ayah belum pulang dari
kantor tempat ia bekerja, mungkin lembur malam, pikirku tak mau memanjangkan.
Awan mendung dan kilatan menyambar,
seperti biasanya, aku duduk termenung dibalik jendela untuk sekedar mengamati
keadaan luar, dan berharap ibu akan memanggilku untuk makan mie hangat dan
saling menghangatkan diri dibalik selimut tua bermotif mawar yang warnanya kian
memudar, kata ibu ini adalah kado pernikahan, dan aku membayangkan saat saat
ayah dan ibu menikah, sungguh bahaagia. Nyatanya sudah setengah jam lalu aku
masih duduk, tak ada panggilan ibu seperti yang ku harapkan, dan ayah masih
belum juga pulang. Aku mendongakkan wajah ke atas, mengira ngira waktu hujan datang,
dan kilatan besar menyambar megejutkanku. Terdengar teriakan ibu, menyuruhku
untuk beranjak dari tempat dudukku dan masuk kedalam, namun aku seolah tak
menghiraukannya, aku masih duduk disana dan aku ingin tetap disana sampai ayah
pulang.
Hujan turun lebih deras dari yang
kubayangkan, ayah pulang tak lama berselang, semua keadaan berubah, tak ada
sambutan di depan pintu oleh ibu, tak ada kasih sayang yang kulihat, yang ada
hanya amarah di sorot mata yang terpancar, yang ada kata kata kasar yang ku
dengar dan entahlah syetan apa yang sudah merasuki hati mereka. Aku hanya
tersungkur menangis dibalik pintu kamar, aku tak mengerti masalah apa yang
mereka ributkan, dengan umurku yang masih enam tahun, hanya satu yang ku
harapkan, semoga hujan turun lebih deras lagi, agar mereka tak mendengar suara
tangisku, agar aku dapat menangis dibalik hujan.
Aku tak menghiraukan suara keributan
di ruang tengah, adik laki laki ku Ghiyas yang berusia 4 tahun menyambangiku,
aku memeluknya, kami menangis tersedu bersama, saling berpegangan tangan,
seakan mengisyaratkan hujan kini tanda perpisahan.
***
13.00
Terminal
Baranang Siang
baru saja bus jurusan Bandung Bogor
menurunkanku, masih ku lihat bus itu berlalu dari pandanganku, aku segera
berlari mencari tempat untuk berteduh, hujan kini turun cukup deras, padahal
terik panas Bandung masih terasa.
Aku menoleh mengamati sekitarku,
semuanya banyak yang berubah, terminal ini....oh Tuhan....gumamku pelan, 25
tahun sudah berlalu,semuanya selalu terekam di memori burukku dan perlahan aku
terhantui oleh bayang bayang kekecewaan ku pada ibu,aku menjerit dengan tangis
kencangku melepaskan genggaman erat ibu dan adikku yang perlahan melepaskan
genggamanku yang berusaha tetap bersama mereka, saat itu hujan turun deras,
menyelimuti kabut dihatiku dan menutupi air mata tangisku. Dan Ayah membawaku
paksa dengan mata ku yang sembab ketempat baru yang tak pernah ku tahu
sebelumnya.
Kalau bukan karna Proyek kantor yang
harus ku selesaikan, juga dorongan perasaan bersalahku yang diam diam
menyelinap di relung hati ku entah mengapa,mungkin aku tak akan pernah datang
kembali ketempat ini, itu hanya akan mengingatkanku pada masa itu, masa yang
selalu ku redam dan kukubur, namun nyatanya bayangannya semakin jelas.
***
“Hujan cukup deras,”
dengan nada rendah, sembari
menghampiri laki laki berkemeja dengan warna dasi senada, ia hanya menoleh,
entah mendengar atau tidak apa yang ku ucapkan, lalu aku duduk di kursi
sampingnya.
Semua terasa dingin, entah karna
hawa saat hujan atau karena kami memang tidak saling mengenal.
“ia bu, akhir akhir ini hujan turun
tak berjadwal, apa memang kini sudah masuk waktu hujan?” ia menyambung ucapanku
dengan sedikit senyum tertoreh di ujung bibirnya.
“tidak pak, hujan tidak terjadwal,
maka kapanpun Allah inginkan, maka hujan akan turun.” Jawabku dengan nada
santai.
“Ngomong ngomong, dari mana dan mau
kemanaa pak?” lanjutku membuka perkenalaan.
“dari tempat kerja mau pulang ke daerah
Jasinga” jawabnya ramah,
“oh... kebetulan sekali pak, saya
juga mau ke Jasinga.”
“Jasinga mana?”tanyanya
“ke daerah Ci Gudeg” Kami memulai
banyak percakapan.
Tak berselang berapa lama, seorang
laki laki dengan kaos dan celana jeans pendek lengkap dengan ransel yang
sepertinya penuh terisi barang datang dan duduk disebelah laki laki yang ku
ajak bicara tadi.ia terlihat basah karna menerobos hujan. Sebentar saja mereka terlihat akrab, yah
mungkin karna mereka sama sama laki laki, jadi topik pembicaraannya
nyambung,tukasku pendek dalam hati. Aku membuka pelastik roti yang membungkus,
cukup mengganjal lapar siang itu, aku terlalu malas untuk menyusuri pinggiran
jalan mencari makan, hujan telah mengalahkan rasa laparku.
Sedikit sedikit aku mendengar apa
yang mereka berdua bicarakan, dengan ekspresi muka yang serius membuatku
penasaran.dalam sekejap aku terhenyak mendengar penuturan laki laki yang baru
saja datang dengan apa yang ia katakan, seolah petir kini menyambar hatiku, seolah
aku kini berada di titik terrendah salju, badanku terasa dingin,lebih dingin
dari apa yang kurasakan sebelumnya.
Apa ini aku? Aku yang ada didalam
cerita laki laki yang duduk di kursi itu?masa lampauku kah yang sedang ia
ceritakan?masa yang diam diam sedang kucari dan kutelusuri arusnya,meski kadang
aku ingin menghindar, dan tempat ini,tempat dimana 25 tahun sudah aku
meninggalkannya karna suatu alasan yang tak ku tahu jelas.
14.30 ***
Ghiyas, ya laki laki yang baru saja
datang itu Ghiyas adikku, aku tak mengenalinya,ia banyak berubah, begitupula
sebaliknya, ia tak mengenliku,
Ia bercerita banyak, aku hanya diam
lebih senang mendengarkannya bercerita, terbesit rasa kecewa diraut mukanya padaku, aku tak
ayal begitu,pembicaraan terputus Setelah sebuah bus jurusan Bogor Rangkas
melintas, kami naik juga pria yang ku ajak berbincang awal pertama aku duduk
dikursi terminal. Kami duduk bersebelahan,aku memilih sebelah jendela, dan Ghiyast
mempersilahkanku, ia tersenyum seraya berkata,
” masih senang duduk di samping
jendela kan?”
aku hanya senyum dan bergumam dalam
hati, Ghiyast masih tau kebiasaanku.
Aku baru tahu ibu parah lebih dari
apa yang kubayangkan. Aku yang menaruh kekecewaan padanya karna ia tega
melepasknaku dan memisahkan aku dengan Ghiyas.
“ibu sakit parah kak...” omongan Ghiyast
terpotong sejenak
Aku menoleh ke arahnya, ia masih
saja diam.
“Ibu menyuruh ku mencari kabar
kakak, namun hasilnya nihil, aku sudah mendatangi alamat seperti yang ibu
tuliskan, namun hasilnya kakak sudah lama pindah, apa kakak tak pernah mencari
kami?” ia sperti menyembunyikan kesal di hati.
“ aku memang salah Gy..., aku
berfikir, setelah saat itu, ibu membenciku, mungkin kamu juga begitu, hingga
aku harus dipisahkan, dan ibu lebih memilih kamu, aku terlalu egois....”
“Lalu apa maksud kakak datang ke
Bogor?”
“ 25 tahun berpisah dengan seorang
wanita yang mengandungku juga adik yang menjadi sandaranku, bukanlah hal mudah,
apapun yang telah terjadi selama ini sujujurnya telah lama menghantui, tak bisa
dipungkiri memang, kebencianku harusnya bisa ku redam dengan lebih mengerti
keadaan saat itu, aku ke sini mencari kalian, aku tak bisa bohong dengan
perasaan ini”
“ bagaimana dengan ayah?” ia
menanyakannya walau dalam raut wajahnya tak terlalu berantusias.
“ ayah pergike luar kota beberapa
bulan setelah kita berpisah, dan entahlah hingga saat ini aku kehilangan
kabarnya, hanya sepucuk surat yang ku terima sebulan setelah kepergiannya, dan
aku diasuh oleh seorang wanita yang menemukanku dihalte, saat menunggu ayah, yang
juga kebetulan ia tak dikaruniai anak”
sebuah linangan yang tak bisa
terbendung lagi, aku menangis deras....
“ setiap hari aku menunggu ayah,
namun ayah tak pernah pulang, harapanku semakain memudar, kebencianku semakin
memuncak, tatkala aku mengingatkau bersama ibu, dan aku berpikir kau
mendapatkan seperuh cinta orang tua, sedang aku tak memilikinya sedikitpun”
tangannya mengelus punggungku, ia
menenangkanku.....
“ maafkan aku kak ....... “
“ aku juga.....”
15.00
Kilatan petir sesekali masih
menyambar, sisa sisa hujan masih terlihat jelas, genangan genangan di bibir
jalan hampir memenuhi setiap jalan yang ku susuri, hari sudah sore, adzan ashar
terdengar saut sautan di surau atau mesjid mesjid, bus berhenti di
pemberhentian, seorang kondektur mempersilahkan penumpang utuk sholat atau
istirahat sejenak .aku turun disusul Ghiyas di belakangku, kami sholat berjamaah,
lalu membeli dua botol minuman untukku dan Ghyast, lalu kembali ke bus
meneruskan perjalanan, terdengar teriakan kondektur yang mempersilahkan kami
masuk kembali, aku memilih diam, rupanya Ghiyast juga begitu, setengah jam
perjalanan berlalu, kami hanya salingg memandangi, atau berbalaasan senyum.
Sudah tak terhitung lagi berapa deretan
rumah yang telah tersusuri, bahkan aku sudah lupa dengan ruas ruas jalan menuju
kampung halamanku sendiri, memang bukan waktu yang singkat, 25 tahun
kepergianku jelas telah membawa banyak perubahan.
“Kakak masih ingat disini?” Ghiyas
sepertinya ingin membuka percakapan baru.
aku masih diam, sedang memutar balik dan menangkap maksud yang ia tuju.
“ waktu kakak nangis minta dibelikan
boneka kelinci, tapi ibu bilang nanti ya nak”
ia membuka jalur ingatanku, aku
hanya tersenyum, tersipu malu oleh masa laluku.
“ ko kamu malah ngingetin kakak sama
hal itu sih? “aku mencoba tak bernostalgia.
sedih rasanya merasakan kembali hal
yang hilang dari kehidupanku, mengingat hal itu hanya membuatku tercekik oleh
perasaan bersalahku.
“Mengapa ?......”
“Mengapa ?........”
“Mengapa aku kalah dengan egoku
dulu, mungkin bila tidak, aku akan lebih banyak merasakan kasih sayang ibu”
perasaan bersalahku serta merta menghujamku diam diam.
“ kak....”
Aku menoleh ke arah Ghiyas
“ andai ya kak....ini hanya
andai...seandainya kakak menemui ibu jauh lebih awal dari hari ini....”
“ cukup Ghiyast...pernyataanmu hanya
akan membunuh perasaanku”
Aku melihat raut muka kegelisahan si
wajahnya, Ghiyas maafkan kakak....lirihku dalam diam.
Aku memijit tombol telephon, melihat
jam sekarang menunjukan pukul 16.30, aku semakin cemas.
16.30
Sebuah dering telephon berbunyi dari
handphon Ghiyas, aku melirik ke arahnya, sebuah nama tertera di layar hand
phone.
“ kakak mau ngomong?” ia menyodorkan
hand phone nya kepadaku.
“ tidak terima kasih, aku belum
siap”
Ia meloudspeaker handphone nya,
terdengar suara diujung sana, namun aku tidak mengenalinya.
“ maaf mas Ghiyas...ini aku Lida,
ibu mas ibu....”
Suaranya terdengar tergepoh
gepoh....seperti sedang terjadi sesuatu.
“ kenapa sama ibu Lid?.....kenapa
ibu?” Ghiyas tak kalah hawatirnya.
“ ibu masuk Rumah sakit, ibu
kumat...tadi mendadak pingsan”
“rumah sakit mana? Aku akan segera
kesana”
“RS. Suwarno”
“oh ya makasih Lid, secepatnya aku
kesana, sedang dalam perjalanan”
Kecemasan sekarang melanda wajah
kami berdua.
“sejak kapan ibu sakit
?”memberanikan diri bertanya padanya.
“ sejak Ayah dan kakak pergi, sejak
itulah ibu mulai sakit sakitan”
Muka cemas bercampur kecewa menjadi
satu, aku tak tau harus bekata apa apa lagi.
Kami telah tiba didepan rumah sakit
tempat ibu dirawat. Langkahku terasa gontai, cemas, haru, bahagia, entahlah apa
yang sebenarnya ku rasa.
Kami menuju bagian informasi,
menanyakan kamar ibu, dan bergegas kesana.
Ibu masih dalam pemeriksaan Dokter,
ia bahkan belum sadarkan diri,
Aku hanya bisa menunggu, berdoa, dan
berharap sebuah kehidupan baru akan dimulai.
Ghiyas masih berbincang dengan
seorang wanita, mungkin itu wanita tadi yang berbicara di handphone.
Dokter keluar, aku menghampirinya.
“ ibu anda perlu isirahat untuk
sementara ini, mungkin dengan istirahat yang baik akan cepat memulihkannya,
sekarang anda boleh masuk”
“ ia Dok, trimakasih”
Aku dan Ghiyas masuk, disusul wanita
itu, wajah yang samar samar berubah, terlihat lebih banyak lipatan keriput di
raut wajahnya yang masih sama.
Wanita yang 25 tahun lalu masih
mendekapku, membuatkanku susu hangat, menceritakanku dongeng dongeng penghantar
tidur.
Sekarang ia di depanku, sedang berjuang melawan sakitnya, aku yang sekarang
memeluknya, membisikan cerita, memegang tangannya seraya berharap ia merasakan
kedekatan seperti yang hatiku rasakan.
Perlahan matanya terbuka, butiran
air mata mengalir, aku mengusapnya pelan.
“ jangan nak, jangan usap air mata
ini, ini tanda kebahagiaanku menemukan Cahaya mutiaraku yang telah lama pergi,
ibu mendengar bisikanmu”
Semuanya terasa hening, tak ada yang
berbicara, hanya isak yang sesekali terdengar.
“ ibu rindu kamu Cahaya Mutiara
Ghaitsa, kamu telah tumbuh menjadi wanita dewasa, kamu cantik nak”
Peganganku semakin erat pada tangan
ibu, aku tak ingin terlepas sepertihalnya 25 tahun lalu.
“ ibu senang kamu disini, dengar Aya,
Ghiyas lah yang akan menjadi pahlawanmu kelak, kamu ingat kata kata ibu saat
ibu menasihatimu karna kamu bertengkar dengan Ghiyas? Suaranya terdengar
samar.....pelan dan sangat menghanyutkan.
Entah air mata apa yang sebenarnya
mengalir deras dipipiku, namun aku sangat ingin saat saat seperti ini lama kurasakan, mungkin sampai kapanpun.
Aku hanya mendengarnya, hanya ingin
lebih banyak menengar nasehat nasehatnya yang lama kurindukan.
17.50
kumandang adzan maghrib terdengar
jelas, seperti halnya kasih sayang ibu yang sangat jelas terasa saat ini.
Ibu memintaku menuntunnya untuk
sholat maghrib, melakukan tayamum, dan merapikan kerudung sebagai pengganti
mukena.
Akupun sholat, bermunajat pada sang
Rabb....mengharap kesehatan ibu membaik, namun nyatanya.......
Ibu memanggilku, suaranya parau jauh
dari sebelumnya, dadanya terlihat sesak,
aku meminta Ghiyas memanggil Dokter, dan saat saat inilah saat yang tak ingin
kurasakan untuk kedua kalinya, kehilangan ibu.....
Aku memegangi tangan ibu, ibu
memintaku menuntunnya mengucap kalimat syahadat....tangisku membuncah, persis
seperti 25 tahun lalu.
“ jaga dirimu, jaga
adikmu....jadilah anak sholeh dan sholihah”
Aku hanya mengangguk, dengan wajah
penuh tangis.
Ghiyas, dengan Dokter datang, ibu
menolak untuk diperiksa.
Kami sama sama berpelukan, saling
memegang erat tangan.
“ ikhlaskan ibu......ikhlaskan
ibu......”
Kami mengangguk, tenggelamdalm
tangis, perlahan mata ibu terpejam, nafasnya terengah dan perlahan hilang.
Aku memegang nadinya, sudah tak ada
denyutan.
“Rabb....aku ikhlas......berikanlah
ibu tempat di sisiMU.....dalam SyurgaMU...”
Pikul 18.00 ibu pergi
kerahmat Illahi.................
Komentar
Posting Komentar